Belajar Tak Cukup Kelas, Perlu ada Mentoring Mata Kuliah


Cukupkah belajar di kelas di mana dosen/ guru berpidato lalu mahasiswa/siswa menyimak? Seringkali kita mengeluhkan masalah ketersampaian pembelajaran kepada siswa. Padahal ketersampaian itu adalah hal penting. Dalam kaidah bahasa arab, ada kata-kata tabligh. Kita sering menganggap makna tabligh adalah menyampaikan. Sehingga penafsiran hadits llaagho anni walau aayah. Kita maknai sampaikanlah walau hanya satu ayat. Padahal, kata Ustadz Salim a fillah, Tablligh di sini artinya adalah bagaimana menyampaikan pesan sehingga pesan itu sampai. Kita mengusahakan agar pesan itu sampai. Berusaha keras agar makna dan isnpirasi melesap masuk ke benak siswa.

Ilmu balaghoh (padanan kata yang mirip dengan tabligh) adalah ilmu bagaimana menyampaikan suatu perkataan sehingga bisa diapahami oleh penerima pesan. Maka mengajar itu haruslah dengan suatu cara pikir bagaimana anak panah pesan itu tepat sasaran menancap di kecerdasan siswa. Sehingga jitu, akurat, dan penuh perhitungan yang mantap.

Setiap kita mengajar, sepertinya perlu kita renungkan, pahamkah siswa kita? Pahamkah mahasiswakita? Atau sebenarnya kita sedang berbicara pada udara. Sedangkan telinga mereka tertutup oleh angan-angan dan harapan ingin cepat pulang?

Penyampaian pengajaran di kelas ada batasnya. Maka diperlukan sebuah sarana belajar lain. Saya kutip dari Surya Kresnanda, seorang learning specialist; “Rothwell dan beberapa pakar Competency-Based Training lainnya banyak menuliskan pola 10:20:70 dalam proses pengembangan kompetensi manusia di organisasi. Pembagiannya adalah… 10% Formal Training, 20% Coaching + Mentoring, 70% On the Job Training”. Ternyata peran pembelajaran di kelas hanyalah 10% yang saya maknai itu sebagai formal training. Ada 20% pembelajaran lain yang harus diallui yaitu coaching+mentoring.

Mata kuliah agama dan mata pelajaran agama sudah mengimplementasikan pola pembelajaran tersebut dengan cara mengadakan mentoring asistensi islam. Dulu ketika saya kuliah di Teknik Industri ITB, ada pula pola mentoring ini yaitu saat praktikum tata letak pabrik. Setiap 8 mahasiswa yang terbagi jadi 4 kelompok memiliki satu mentor yang memandu kami untuk merancnag pabrik dari zero hingga hero. Mengapa tidak kita implementasikan di mata kuliah lain juga?

Sebagai contoh matakuliah kalkulus atau matematika. Pembelajaran di kelas boleh saja selesai dalam waktu 2 jam. Tapi lalu pekan ini, sang pelajar harus menjalankan fungsi mentoring bersama kakak kelasnya untuk melanjutkan pembelajaran. Dalam proses mentoring dan coaching ada treatment yang bersifat Personal dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sifatnya individual. Dengan cara ini harapannya pembelajaran benar-benar tersampaikan dengan baik. Benar-benar tabligh.

Kita bisa mulai dengan cara membudayakan dengan memanfaatkan “Konten” Komunitas Tentor. Yaitu kakak kelasnya bergabung dalam satu komunitas yang siap meluangkan waktu untuk mengajari adik-adiknya. Sang tentor atau mentor tidak boleh dibayar, tapi boleh diberi penghargaan dalam bentuk sertifikat untuk nanti menjadi modal baginya untuk berkarir ke depan. Sang tentor pun mendapat manfaat yaitu memantapkan ilmunya sehingga dia makin mahir di keilmuan yang ia ajarkan pada adik kelas.


Leave a Reply