Status FB Maimon


Source

Ada banyak pilihannya yang kemudian ternyata bagus. Salah satunya hidup tanpa kederaan pribadi.
Sewaktu di Padang, saya bisa menyetir dan bermotor. Belum punya sim, memang. Tapi, bisa.
Insya Allah, akan mudah mengingat kembali skill menyetir itu.
Hanya saja, dari dulu sampai sekarang, putusan suami, keluarga kami tanpa kenderaan pribadi. Saya sudah berusaha mengenalkan jenis mobil sederhana, tapi tetap….
Alasan yang sering diulangnya, ‘Banyak yang berubah setelah bermobil bagus.’
Ngek.
Saya sudah yakinkan, kami insya Allah tidak. Toh, ada masa saat di Inggris, kehidupan ekonomi keluarga setara pekerja bule (saat saya menjadi teknisi laboratorium di sekolah termahal khusus putri di North East), gaya hidup kami hampir tidak berubah.
Tetap.
‘Banyak yang berubah setelah bermobil.’
Hingga kehidupan terus mengalir….bersama angkot dan bus.
Salah satu anak sempat komen, dibanding warga komplek ini, keluarga kami paling miskin (karena tidak ada mobil, motor, atau tivi, hihihi).
Saya paling sering komplen masalah ini jika sudah dikejar-kejar beberapa agenda di beda kota. Coba punya motor, demikian lagu rutin saya tongue emoticon
Tapi, tetaaap.
Tadi sore, sepulang mengajar di kampus, saya sadar, pilihan suami ini sangat baik. Karena pulang pergi saya ‘mengangkot’, saya bertemu mereka, warga yang tidak hadir di media sosial, namun ada di dunia nyata.

Kakek yang berwajah murung dan berekspresi beku saat dimaki sopir angkot yang meminta tambahan ongkos. ‘Belegug!’ maki anak muda pada kakek itu. Ingin membayarkan, tapi duduk saya terlalu ke dalam.

Anak kelas satu SMP yang hanya dengan ibu dan adiknya karena ayahnya sudah setahun mencari nafkah di luar Jawa (di Kalimantan, lalu terakhir, sejak beberapa bulan lalu di Malaysia).

Para nenek dan ibu yang serentak turun/naik di pasar Tanjungsari. Cerita senada tentang sulitnya hidup saat ini. Harga yang serba naik.

Kakak yang menjemput adiknya habis melahirkan ke bidan. Suami adik tidak pulang-pulang, sedangkan orangtua lelaki mereka sudah lama meninggal.

Andai pulang dan pergi saya mengendarai mobil ber-AC, saya akan jarang bertemu mereka. Saya tidak mendengar langsung keluhan mereka….atau gemetarnya tangan keriput itu menghitung ongkos, sedang wajahnya demikian muram.

Ya, benar. Bagaimana akan membela mereka sedang perut selalu kenyang, tak pernah lapar. Tidur selalu lelap, tak pernah kedinginan seperti mereka. Udah gitu, tak pernah bertemu muka pula….Kesannya mereka beneran tidak ada di Indonesia. Maklum, transparan seperti ubur-ubur.


Leave a Reply